Dewa Ruci

Patung Bima bergumul dengan naga sebagaimana adegan dalam lakon "Dewa Ruci", di Nusa Dua, Bali.

Dewa Ruci (aksara Jawa: ꦢꦺꦮꦫꦸꦕꦶ), dalam cerita pewayangan, adalah nama seorang dewa kerdil yang dijumpai oleh Bima atau Werkudara dalam sebuah perjalanan mencari air kehidupan. Nama Dewa Ruci juga merupakan lakon atau judul pertunjukan wayang tentang dewa tersebut, yang berisi ajaran moral dan filsafat hidup orang Jawa. Lakon wayang tersebut merupakan interpolasi bagi Mahabarata, sehingga tidak ditemukan dalam naskah asli Mahabharata dari India.[1]

Lakon Dewa Ruci berkisah tentang kepatuhan murid kepada guru, kemandirian bertindak, dan perjuangan menemukan jati diri.[2] Menurut filsafat Jawa, pengenalan jati diri akan membawa seseorang mengenal asal-usul diri sebagai ciptaan dari Tuhan. Pengenalan akan Tuhan itu menimbulkan hasrat untuk bertindak selaras dengan kehendak Tuhan, bahkan menyatu dengan Tuhan, yang disebut sebagai Manunggaling Kawula Gusti (bersatunya hamba-Gusti).[2][3][4]

Perlu diketahui, bahwa Dewa Ruci berbeda dari Sang Hyang Tunggal, karena Dewa Ruci adalah wujud sempurna dari Werkudara atau Bima (Mahabharata).

Naskah

Walaupun bukan bagian asli dari kitab Mahabharata karya Kresna Dwaipayana Byasa, cerita ini mengambil tokoh utama dari Mahabharata, yaitu Bima, salah satu kesatria Pandawa yang bertenaga paling kuat. Kisah sisipan ini populer dalam masyarakat Jawa dan dipentaskan oleh kebanyakan dalang di Jawa.[2]

Kisah Dewa Ruci yang menjadi rujukan para dalang dan para pencerita masa kini merujuk pada tulisan Yasadipura I (ditengarai sebagai guru dari pujangga Ranggawarsita) dari Surakarta, yang hidup pada masa Pakubuwono III (1749–1788) dan Pakubuwono IV (1788–1820).[3] Yasadipura I sendiri dijuluki sebagai pujangga "penutup" Keraton Surakarta.[3]

Salinan kisah Dewa Ruci juga dipublikasikan beberapa kali oleh sejumlah penerbit, di antaranya:[3]

  1. Serat Dewa Ruci cetakan pertama yang diterbitkan oleh Mas Ngabehi Kramapawira tahun 1870, dicetak oleh Percetakan Van Dorp, Semarang, dengan aksara Jawa.
  2. Serat Dewa Ruci berbahasa Jawa dan juga beraksara Jawa tulisan Mas Ngabehi Mangunwijaya dan diterbitkan oleh Tan Khoen Swie, Kediri, tahun 1922.
  3. Cerita Dewa Roetji yang dimuat di majalah Belanda Djawa pada tahun 1940, dengan kontributor R.M. Poerbatjaraka.
  4. Serat Dewa Ruci Kidung dari Bentuk Kakawin yang diterbitkan oleh Penerbit Dahara Prize Semarang tahun 1991, berhuruf Latin, berbahasa Jawa, dan ada terjemahan bahasa Indonesia secara tekstual. Dalam versi tersebut hanya disebutkan penulisnya adalah pujangga Surakarta.

Ditelaah dari beberapa naskah, termasuk yang dikarang oleh Yasadipura I, tema dari kisah Dewa Ruci sarat akan ajaran kebatinan masyarakat Jawa, yakni berisi pencarian jati diri seorang manusia.[3] Kisah Dewa Ruci ini banyak disunting oleh penulis buku-buku etika Jawa, misalnya Frans Magnis Suseno,[4] Hazim Amir,[5] Ignas G. Saksana,[6] dan Djoko Dwijanto.[6]

Kisah

Pencarian air kehidupan

Wayang Bima, tokoh utama lakon Dewa Ruci.

Dalam lakon Dewa Ruci dikisahkan bahwa seorang kesatria perkasa bernama Bima (alias Werkudara) ditugaskan oleh gurunya yang bernama Drona (Durna) untuk mencari air kehidupan (tirta perwita) yang dapat membuat Bima mencapai kesempurnaan hidup. Perintah ini sesungguhnya hanyalah siasat untuk melenyapkan Bima supaya tidak ikut serta dalam Perang Bharatayuddha yang sedang dipersiapkan.[7] Bima pun menjalankan titah sang guru. Ia berangkat menuju tempat-tempat berbahaya yang sudah ditentukan Drona.

Pertama, Bima diutus ke gua gunung Candramuka. Setelah mendapati bahwa air yang dicarinya ternyata tidak ada, maka ia mengobrak-abrik gua sehingga membuat terkejut dua raksasa yang tinggal di sana, yaitu Rukmuka dan Rukmakala. Kemudian terjadi perkelahian antara mereka, yang akhirnya dimenangkan oleh Bima. Saat beristirahat usai pertempuran, ia bersandar pada sebuah pohon beringin. Tak lama kemudian, suara tak berwujud yang berasal dari Batara Indra dan Bayu memberi tahu bahwa dua raksasa yang dibunuh Bima ternyata memang sedang dihukum Batara Guru. Lalu mereka memerintahkan Bima agar kembali ke Astina karena air kehidupan tak ada di gua tersebut.[8]

Setiba di Astina, Bima kembali menghadap Drona. Sang guru berdalih bahwa ia hanya menguji Bima. Kemudian, ia pun memerintahkan Bima untuk menuju samudra demi mendapatkan air kehidupan. Sebelum pergi, semua kerabat Bima melarang dan memperingatkan bahwa semua itu hanyalah jebakan. Namun Bima tetap teguh dan bertekad pergi demi melaksanakan titah sang guru. Sesampainya di tepi samudra, ia menenangkan pergolakan batin dalam dirinya, sebelum memasuki samudra raya itu. Berkat kesaktian Aji Jalasegara yang ia dapatkan dari Batara Bayu pada perjalanan sebelumnya, Bima mampu memasuki dasar samudra dengan cara menyibak air; bahkan ia sanggup bernapas di dalamnya. Seekor naga yang menghuni dasar samudra segera melilit Bima. Setelah bergumul cukup lama, ia pun menikamkan kukunya (Pancanaka) ke badan naga, yang akhirnya merenggut nyawa naga tersebut.[8]

Pertemuan dengan Dewa Ruci

Wayang Bima (kiri) dan Dewa Ruci (kanan), koleksi Museum Peradaban Asia, Singapura.

Setelah bertarung melawan naga, Bima bertemu dengan seorang dewa kerdil bernama Dewa Ruci yang wajahnya menyerupai Bima sendiri. Besar dari Dewa Ruci tidak lebih besar dibanding telapak tangan Bima. Dewa Ruci memerintahkan Bima untuk memasuki telinga kirinya. Namun—dengan sebuah keajaiban—Bima berhasil masuk ke telinga dewa kerdil itu, dan di dalamnya Bima mendapati dunia yang mahaluas. Dewa Ruci mengatakan bahwa air kehidupan tidak ada di mana-mana, sebab air kehidupan berada di dalam diri manusia itu sendiri. Bima memahami wejangan Dewa Ruci yang sesungguhnya adalah representasi dirinya sendiri, yang muncul dan memberi pengajaran kepadanya karena ia telah mematuhi perintah gurunya (Drona) dengan sepenuh hati.[2][7][8]

Ada empat macam cahaya yang tampak oleh Bima, yaitu hitam, merah, kuning, dan putih. Menurut Dewa Ruci, cahaya itu disebut Pancamaya, ada di dalam hati manusia. Sedangkan yang berwarna merah, hitam, kuning, dan putih, itu adalah penghalang hati. Yang hitam melambangkan kemarahan, yang menghalangi dan menutupi tindakan yang baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang baik, segala keinginan keluar dari situ, menutupi hati yang sadar kepada kewaspadaan. Yang kuning hanya suka merusak. Sedangkan yang putih berarti nyata, hati yang tenang suci tanpa prasangka, unggul dalam kedamaian. Sehingga hitam, merah dan kuning adalah penghalang pikiran dan kehendak yang abadi, persatuan Sukma Mulia.[8]

Lalu Bima melihat cahaya memancar berkilat, berpelangi melengkung. Menurut Dewa Ruci, itu adalah kemampuan manusia untuk berwaspada, yang disebut sebagai Pramana. Pramana menyatu dengan diri tetapi tidak ikut merasakan gembira dan prihatin, bertempat tinggal di tubuh, tidak ikut makan dan minum, tidak ikut merasakan sakit dan menderita.[8] Dewa Ruci juga menjelaskan tentang Sukma Sejati serta persatuan manusia/kawula dan pencipta/Gusti.[8] Setelah mendengar perkataan Dewa Ruci, perasaan Bima menjadi bahagia.[8]

Makna

Patung Dewa Ruci di daerah Kuta, Bali. Menampilkan adegan ikonik dalam lakon Dewa Ruci, yaitu pergumulan antara Bima dengan naga.

Kisah Dewa Ruci merupakan alegori tentang hasrat manusia yang terus ingin melacak keberadaan Tuhan, dan dengan nalarnya ia melakukan penjelajahan.[9] Menurut filsafat Jawa, manusia disebut sebagai jagat cilik atau mikrokosmos (dunia kecil), sedangkan semesta raya disebut sebagai makrokosmos atau jagat gede yang merupakan manifestasi dari Tuhan sendiri.[9] Jagat mikrikosmos sama luasnya dengan jagat makrokosmos. Di sana, rahasia ketuhanannya diberi petunjuk: "Siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya." Keyakinan ini mengendap dalam keyakinan orang-orang Jawa pada masa silam.[9]

Perjalanan Bima mengalahkan para raksasa untuk menemukan air perwita, mengalahkan naga, dan bertemu dengan Dewa Ruci sarat akan simbol-simbol tentang perjuangan manusia mengalahkan nafsu-nafsu yang dapat menghalanginya menuju kesempurnaan, misalnya nafsu makan, kekuasaan, kesombongan, dan semacamnya. Bima mencapai kesempurnaan karena watak dan sifat rela, patuh, waspada, eling (tidak lupa diri), dan rendah hati. Seseorang yang telah mengetahui jati dirinya akan melakukan hal-hal tersebut dengan alasan ia mengamalkan tugas-tugasnya di dunia.[2][9]

Referensi

  1. ^ Mahendra Sucipta (2010), Ensiklopedia Wayang dan Silsilahnya, Yogyakarta: Penerbit Narasi, hlm. 125 
  2. ^ a b c d e Aris Wahyudi (2012), Lakon Dewa Ruci: Cara menjadi Jawa, Yogyakarta: Penerbit Bagaskara, hlm. xix 
  3. ^ a b c d e Yudhi A.W. (2012), Serat Dewa Ruci, Yogyakarta: Penerbit Narasi, hlm. 11 
  4. ^ a b Frans Magnis Suseno (1991), Wayang dan Panggilan Manusia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hlm. 48–51 
  5. ^ Hazim Amir (1994), Nilai-Nilai Etis dalam Wayang, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hlm. 163 
  6. ^ a b Ignas G. Saksana; Djoko Dwijanto (2011), Terbelahnya Kepribadian Orang Jawa, Yogyakarta: Keluarga Besar Marhaenisme DIY, hlm. 136–137 
  7. ^ a b R.A. Kosasih, Dewa Ruci, Bandung: Erlina (Rumah Produksi: Nikita Komik) 
  8. ^ a b c d e f g "Dewa Ruci". Keraton Surakarta. 4 Oktober 2017. Diarsipkan dari versi asli tanggal 26 September 2020. 
  9. ^ a b c d M. Darwis Hude (2006), Emosi: Penjelajahan Religio-Psikologis Emosi Manusia di dalam Alquran, Jakarta: Erlangga, hlm. vi–vii