Dayang Bandir dan Sandean Raja

Dayang Bandir dan Sandean Raja adalah cerita rakyat dari daerah Sumatera Utara.[1][2][3][4][5] Dayang Bandir dan Sandean Raja adalah kakak beradik.[1] Mereka hidup di sebuah kerajaan timur di daerah Sumatera Utara.[1] Mereka berdua mempunyai seorang paman yang berusaha untuk merebut kerajaan itu.[1] Dayang Bandir mati karena pamannya menggantung dirinya di pohon.[1] Sandean Raja pergi menuju kerajaan barat untuk berlindung di sana.[1] Sandean Raja yang kemudian membalaskan dendam kakak perempuannya.[1]

Cerita

Dahulu kala, terdapat sebuah kerajaan yang disebut kerajaan timur di daerah Sumatera Utara.[1][5] Dalam kerajaan itu, hiduplah kakak beradik yang telah ditinggal orang tua mereka.[1] Sandean Raja adalah calon penerus kerajaan itu karena ia adalah anak laki-laki.[1][5] Ia mempunyai kakak perempuan bernama Dayang Bandir.[1] Sandean Raja masih terlalu muda untuk menjadi raja sehingga kerajaan itu dipimpin oleh paman Kareang untuk sementara.[1][5] Paman Karean bertugas mengasuh Sandean Raja dan Dayang Bandir.[1][5] Paman Kareang juga memiliki ambisi menjadi raja.[1] Namun, Paman Kareang memerlukan benda-benda pusaka kerajaan timur.[1] Dayang Bandir mengetahui ambisa pamannya dan mengambil benda-benda pusaka itu lalu menyembunyikannya di tempat yang aman.[1] Paman Kareang mengetahui bahwa Dayang Bandir menyembunyikan benda-benda pusaka itu.[1] Ia tidak dapat memaksa Dayang Bandir berbicara karena para pengawal istana menyayangi Dayang Bandir dan Sadean Raja.[1] Paman Kareang pun memilih untuk menggunakan cara yang licik.[1] Ia mengajak Dayang Bandir dan Sandean Raja berjalan di hutan.[1] Sesampainya di sana, Paman Karean memaksa Dayang Bandir bicara tentang tempat persembunyian benda-benda pusaka itu.[1] Namun, Dayang Bandir diam tidak bicara.[1] Paman Kareang merasa kesal lalu ia mengikat badan Dayang Bandir dan menggantungnya di pohon.[1] Ia pun meninggalkan Dayang Bandir dan Sandean Raja di hutan.[1] Sandean Raja berusaha untuk memanjat pohon dan melepaskan kakaknya, tetapi ia tidak berhasil.[1] Dayang Bandir terus tergantung di pohon sementara Sandean Raja menangis melihat kakaknya.[1] Dayang Bandir berusaha menghibur Sandean Raja dengan menyanyikan lagu.[1] Sandean Raja berusaha untuk memanjat pohon dan melepaskan kakaknya, tetapi ia tidak berhasil.[1] Dayang Bandir berpesan kepada adiknya bahwa adiknya harus pergi ke kerajaan barat dan bertemu dengan adik kandung ibunya yaitu Raja Soma.[1] Dayang Bandir pun akhirnya meninggal setelah sekian lama tergantung tanpa makan dan minum.[1] Sandean pun melakukan apa yang dikatakan kakaknya.[1] Ia berhasil keluar dari hutan dan pergi ke kerajaan barat.[1][3] Sesampainya di kerajaan barat ia bertemu dengan Raja Soma, tetapi Raja Soma tidak percaya bahwa Sandean adalah penerus kerajaan timur.[1][3] Raja Soma menantang Sandean untuk menyelesaikan beberapa tugas untuk membuktikan bahwa ia adalah penerus kerajaan timur.[1] Sandean pun menyelesaikan tantangan Raja Soma dan mendapat kepercayaan Raja Soma.[1][3] Sandean pun menikah dengan putri Raja Soma.[1] Suatu malam, roh Dayang Bandir muncul dalam mimpi Sandean Raja.[1][3] Dayang Bandir mengingatkan Sandean untuk merebut kerajaan timur yang telah dikuasai oleh Paman Kareang.[1][3] Keesokan harinya, Sandean mengumpulkan pasukan untuk menyerang kerajaan timur.[1] Serangan itu rupanya tidak diantisipasi oleh Paman Kareang sehingga ia kalah telak dan mati dalam serangan itu.[1] Akhirnya, Sandean Raja menjadi penguasa di kerajaan timur.[1][3]

Reference

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj ak al am an ao Monika Cri Maharani. 2011. Cerita Rakyat asli Indonesia: dari 33 Provinsi.Jakarta: Agromedia Pustaka.Hlm 6.
  2. ^ Z. Pangaduan Lubis. 1996. Cerita Rakyat dari Simalungun (Sumatera Utara). Jakarta: Grasindo. Hlm 13.
  3. ^ a b c d e f g Sumbi Sambangsari. 2008. Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara. Jakarta:WahyuMedia. Hlm 4.
  4. ^ Ariesty Fujiastuti. 2014. Kumpulan Dongeng Anak. Ariesty Fujiastuti.
  5. ^ a b c d e Marina Asril Reza. 2010. 108 Cerita Rakyat terbaik Asli Nusantara.Jakarta:Visimedia. Hlm 17.